MENILIK PENERAPAN PRINSIP “EXCLUSIONARY RULES” DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Oleh: Giovani, S.H.
Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.[1] Konsekuensi logis dari pasal tersebut menunjukkan bahwa semua warga negara Indonesia harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Penjabaran lebih spesifik mengenai pasal ini terlihat pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,[2] yang notabene memberikan penegasan bahwa “equality before the law” adalah hak konstitusional seluruh Warga Negara Indonesia, tidak terkecuali bagi Terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan.
Proses persidangan layaknya arena pertarungan bagi seorang Terdakwa karena disitulah penentuan “hidup” Terdakwa, apakah dinyatakan bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana. Penentuan tersebut memberikan dampak yang nyata bagi Terdakwa, bila terbukti bersalah akan dijatuhkan hukuman yang harus ditanggungnya, termasuk stigma negatif yang melekat pada diri Terdakwa apabila kembali di lingkungan masyarakat, begitupun sebaliknya bila terbukti tidak bersalah maka Terdakwa memiliki hak untuk dipulihkan harkat dan martabatnya oleh negara. Itulah salah satu esensi mengapa dalam hukum acara pidana tujuan yang dikehendaki adalah mencari kebenaran materil dari suatu peristiwa pidana.
Mencari kebenaran materil tentunya tak dapat dipisahkan dengan proses persidangan khususnya pada tahap pembuktian oleh Majelis Hakim. Pembuktian adalah tahap esensial karena pada proses inilah akan dibuktikan apakah Terdakwa benar telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya, sehingga peran alat bukti menjadi fokus utama dalam proses ini. Ketentuan mengenai “alat bukti yang sah” diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.
Kapankah suatu alat bukti dikatakan sah?apakah hanya berdasarkan klasifikasi jenis alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP?bagaimana jika alat-alat bukti yang diajukan cara perolehannya bertentangan dengan hukum?Terkait hal tersebut ada suatu prinsip mengenai cara perolehan alat bukti yang dikenal dengan istilah “Exclusionary rules” (selanjutnya disebut Ex Rules). Secara umum, Ex Rules adalah doktrin yang mewajibkan hakim untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum (alat bukti menjadi tidak sah) dalam persidangan. Prinsip Ex Rules pada dasarnya berasal dari sistem common law yang menerapkan sistem jury dalam proses persidangannya. Konsekuensi lebih lanjut, apabila bukti tersebut diperoleh dengan jalan yang tidak sah maka demi hukum bukti yang diperoleh secara tidak sah tersebut haruslah tidak diperhitungkan dalam pemeriksaan di pengadilan. Dalam beberapa literatur, dikenal dengan istilah Exclusionary Discretion. Phyllis B. Gerstenfeld memberi definisi Ex Rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum.[3]
Praktik penerapan Ex Rules dapat dilihat di beberapa negara, salah satunya yaitu pada kasus Mapp v. Ohio di Amerika pada tahun 1961. Pada perkara ini, muncul suatu kaidah hukum terkait perolehan alat bukti berupa pentingnya menegakkan dan mengefektifkan larangan atas penggeledahan dan penyitaan yang bertentangan dengan hukum, dan untuk menjamin itu pengadilan tidak akan membiarkan aktivitas inkonstitusional dalam penggeledahan dan penyitaan dan untuk memberikan efek takut kepada pelaku aparat yang menyimpang dalam bentuk menolak seluruh alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.[4] Sedangkan di Jerman Ex Rules diterapkan secara khusus untuk pernyataan yang diperoleh melalui kekerasan, perlakuan ilegal dan perbuatan lain yang dilarang. Jerman lebih fokus terhadap pelanggaran dalam interogasi dibandingkan dengan penggeledahan dan penyitaan. Adapun di Taiwan penggunaannya dikenal dengan discretionary rules sebagai bentuk balancing pengadilan dalam mengesampingkan bukti dari sudut pandang hak asasi manusia dan kepentingan umum.[5]
Bagaimana dengan Indonesia?apakah sistem kita mengenal prinsip ini?
Sejatinya, istilah Ex Rules belum dikenal dalam sistem peradilan pidana kita. Ketentuan mengenai pembuktian dalam KUHAP mengatur tentang jenis-jenis alat bukti dan cara menilai alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. Terkait cara menilai alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, apakah termasuk penilaian terhadap cara perolehan alat bukti yang diajukan di persidangan?Sebagai contoh, apabila bukti yang diajukan berupa surat yang kemudian belakangan diketahui bahwa surat yang diajukan di persidangan diperoleh secara melawan hukum, yaitu dengan cara mengambil tanpa izin. Jika merujuk pada Pasal 187 KUHAP, diketahui bahwa pasal tersebut hanya menguraikan tentang jenis-jenis surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, bukan mengenai cara menilai bagaimana perolehan alat bukti surat tersebut. Lantas, kapankah hakim dapat melakukan penilaian terhadap cara perolehan alat bukti yang diajukan di persidangan?apakah hakim harus secara aktif menanyakan kepada Penuntut Umum ataupun Penasihat Hukum perihal cara mereka memperoleh alat bukti tersebut?
Jika melihat praktek di negara lain, Hakim mulai aktif melakukan penilaian tersebut manakala pada saat diajukannya alat bukti, apakah oleh Penuntut Umum atau Penasihat Hukum, maka salah satu diantara mereka akan mengajukan keberatan dan meminta Hakim untuk menilai bagaimana cara perolehan alat bukti tersebut. Dengan kata lain, Hakim baru menilai apabila ada permintaan dari salah satu pihak. Hal ini sering dilakukan karena adanya peran aktif dari para pihak. Sedangkan, dalam proses peradilan kita, peran aktif tersebut jarang diperlihatkan, bahkan sanggahan dari para pihak biasanya diwujudkan dalam bentuk memberikan alat bukti lainnya, bukan permintaan untuk melakukan kroscek mengenai cara perolehan alat bukti yang diajukan oleh pihak lawan.
Prinsip Ex Rules sangat berkaitan dengan HAM, dimana dalam KUHAP sendiri menjunjung tinggi HAM dari Terdakwa. Kedepannya prinsip ini akan menjadi bagian penting dalam memenuhi hak konstitusional dari Terdakwa sehingga penerapannya perlu didukung dengan regulasi dalam Sistem Peradilan Pidana kita sebagai bentuk akomodir terhadap hak-hak Terdakwa yang posisinya cenderung lebih lemah dari aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Ichsan Zikry. S.H. 2014, Mengenal Exclusionary Rules, LBH Jakarta, diakses dari https://bantuanhukum.or.id/mengenal-exclusionary rules/#:~:text=Sejarah%20Singkat%20Exclusionary%20Rules,diformulasikan%20diantara%20tahun%201914%2D1969, diakses pada tanggal 31 Januari 2021.
[1] Lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
[2] Lihat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3] Pendapat ahli Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, S.H., M.Hum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. hlm. 39.
[4] Ichsan Zikry. S.H. 2014. Mengenal Exclusionary Rules, LBH Jakarta, diakses dari https://bantuanhukum.or.id/mengenal-exclusionary rules/#:~:text=Sejarah%20Singkat%20Exclusionary%20Rules,diformulasikan%20diantara%20tahun%201914%2D1969. diakses pada tanggal 31 Januari 2021.
[5] Ibid.